Keagungan Bulan Ramadhan
[1] KEDUDUKAN SHAUM RAMADHAN
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri
kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan
kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…”
Kewajiban Bagi Kaum yang Beriman
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183)
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang
mulia) di dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan
ijma’/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan
demikian.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 3/380)
Ketika menjelaskan ayat di atas beliau mengatakan, “Allah mengarahkan
pembicaraannya (di dalam ayat ini, pen) kepada orang-orang yang beriman. Sebab
puasa Ramadhan merupakan bagian dari konsekuensi keimanan. Dan dengan
menjalankan puasa Ramadhan akan bertambah sempurna keimanan seseorang. Dan juga
karena dengan meninggalkan puasa Ramadhan akan mengurangi keimanan. Para ulama
berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa karena meremehkannya
atau malas, apakah dia kafir atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan
bahwa orang ini tidak kafir. Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena
meninggalkan salah satu rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan shalat.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 3/380-381)
Menunaikan kewajiban merupakan ibadah yang sangat utama, karena
kewajiban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda membawakan firman Allah ta’ala
(dalam hadits qudsi),
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri
kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan
kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…” (HR. Bukhari
[6502] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban lebih utama daripada mengerjakan amalan
yang sunnah.” (Syarh Arba’in li An-Nawawi yang dicetak
dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 265)
Syaikh As-Sa’di juga mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pokok
yang sangat agung yaitu kewajiban harus didahulukan sebelum perkara-perkara
yang sunnah. Dan ia juga menunjukkan bahwa amal yang wajib itu lebih dicintai
Allah dan lebih banyak pahalanya.” (Bahjat Al-Qulub Al-Abrar,
hal. 116)
Al-Hafizh mengatakan, “Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwasanya
menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah.”
(Fath
Al-Bari, 11/388)
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan,
“Amal-amal wajib lebih utama daripada amal-amal sunnah. Menunaikan amal yang
wajib lebih dicintai Allah daripada menunaikan amal yang sunnah. Ini merupakan
pokok agung dalam ajaran agama yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan
ditetapkan pula oleh para ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di
atas. Setelah itu beliau mengatakan, “Maka hadits ini memberikan penunjukan
yang sangat gamblang bahwa amal-amal wajib lebih mulia dan lebih dicintai Allah
daripada amal-amal sunnah.” Kemudian beliau menukil ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar
di atas (lihat Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Tafadhul Al-A’maal,
hal. 34)
[2] KEUTAMAAN SHAUM
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada
harumnya minyak kasturi…”
Menghapuskan Dosa-Dosa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena
iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR.
Bukhari [38, 1901, 2014] dan Muslim [760] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan iman di sini adalah meyakini wajibnya puasa yang
dia lakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan mengharapkan pahala/ihtisab adalah
keinginan mendapatkan balasan pahala dari Allah ta’ala (Fath Al-Bari, 4/136)
An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang populer di kalangan para ulama
ahli fikih menyatakan bahwa dosa-dosa yang terampuni dengan melakukan puasa
Ramadhan itu adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar (lihat Al-Minhaj,
4/76). Hal itu sebagaimana tercantum dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى
رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu
dengan ibadah jum’at berikutnya. Puasa Ramadhan yang satu dengan puasa Ramadhan
berikutnya. Itu semua merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama
dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim [233])
Di dalam kitab Shahihnya, Bukhari membuat sebuah bab yang berjudul
‘Shalat lima waktu sebagai penghapus dosa’ kemudian beliau menyebutkan hadits
yang senada, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Nabi
bersabda,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ
كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا
يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ
يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا
“Bagaimana menurut kalian kalau seandainya
ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian dan dia mandi di sana sehari lima
kali. Apakah masih ada sisa kotoran yang ditinggalkan olehnya?” Para sahabat
menjawab, “Tentu saja tidak ada lagi kotoran yang masih ditingalkan olehnya.”
Maka beliau bersabda, “Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu dapat
menghapuskan dosa-dosa.” (HR. Bukhari [528] dan Muslim [667])
Ibnu Hajar mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan dosa-dosa di sini lebih luas daripada dosa kecil maupun dosa besar. Akan
tetapi Ibnu Baththal mengatakan, ‘Dari hadits ini diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksudkan adalah khusus dosa-dosa kecil saja, sebab Nabi menyerupakan dosa
itu dengan kotoran yang menempel di tubuh. Sedangkan kotoran yang menempel di
tubuh jelas lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan bekas luka ataupun
kotoran-kotoran manusia.'”
Meskipun demikian, Ibnu Hajar membantah ucapan Ibnu Baththal ini dengan
menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits bukanlah kotoran ringan yang sekedar
menempel di badan, namun yang dimaksudkan adalah kotoran berat yang benar-benar
sudah melekat di badan. Penafsiran ini didukung oleh bunyi riwayat lainnya yang
dibawakan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri
dengan sanad la ba’sa bihi yang secara tegas
menyebutkan hal itu.
Oleh sebab itulah Al-Qurthubi mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan
bahwa melakukan shalat lima waktu itulah yang menjadi sebab terhapusnya
dosa-dosa, akan tetapi makna ini janggal. Namun terdapat hadits lain yang
diriwayatkan sebelumnya oleh Muslim dari penuturan Al-Alla’ dari Abu Hurairah
secara marfu’ Nabi bersabda, ‘Shalat yang lima waktu adalah penghapus dosa di
antara shalat-shalat tersebut selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Berdasarkan
dalil yang muqayyad (khusus) ini maka hadits lain yang muthlaq (umum) harus
diartikan kepada makna ini.” (lihat Fath Al-Bari, 2/15)
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang penghapusan dosa karena amal
kebaikan di atas sesuai dengan kandungan firman Allah ta’ala,
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya amal-amal kebaikan itu akan
menghapuskan dosa-dosa.” (Qs. Huud [11]: 114)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah menyatakan bahwa mengerjakan amal-amal
kebaikan akan dapat menghapuskan dosa-dosa di masa silam…” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/247). Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan dosa-dosa di dalam ayat di atas adalah dosa-dosa kecil (Taisir
Al-Karim Ar-Rahman, hal. 391)
Sebagaimana Allah juga menjadikan tindakan menjauhi dosa-dosa besar
sebagai sebab dihapuskannya dosa-dosa kecil. Allah berfirman,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang
dilarang kepada kalian niscaya Kami akan menghapuskan dosa-dosa kecil kalian
dan Kami akan memasukkan kalian ke dalam tempat yang mulia (surga).” (Qs.
An-Nisaa’ [4]: 31)
Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa definisi yang paling tepat untuk dosa
besar adalah segala bentuk pelanggaran yang diberi ancaman hukuman khusus
(hadd) di dunia atau ancaman hukuman tertentu di akhirat atau ditiadakan status
keimanannya atau timbulnya laknat karenanya atau Allah murka kepadanya (Taisir
Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176).
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas mengenai firman Allah
di atas. Ibnu Abbas mengatakan, “Dosa besar adalah segala bentuk dosa yang
berujung dengan ancaman neraka, kemurkaan, laknat, atau adzab.” (HR. Ibnu
Jarir, disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 2/202)
Ibnu Abi Hatim menuturkan: Abu Zur’ah menuturkan kepada kami: Utsman bin
Syaibah menuturkan kepada kami: Jarir menuturkan kepada kami riwayat dari
Mughirah. Dia (Mughirah) mengatakan, “Tindakan mencela Abu Bakar dan Umar
radhiyallahu’anhuma juga termasuk dosa besar.” Ibnu Katsir
mengatakan, “Sekelompok ulama bahkan berpendapat kafirnya orang yang
mencela Sahabat, ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Malik bin Anas
rahimahullah.” Muhammad bin Sirin mengatakan, “Aku
tidaklah mengira bahwa ada seorang pun yang menjatuhkan nama Abu Bakar dan Umar
sementara dia adalah orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). (lihat keterangan
ini dalam Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2/203)
Qatadah mengatakan tentang makna ayat di atas, “Allah hanya menjanjikan
ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
2/203)
Termasuk bagian dari menjauhi dosa besar ialah dengan senantiasa
menunaikan kewajiban yang apabila ditinggalkan maka pelakunya terjerumus dalam
dosa besar seperti halnya meninggalkan shalat, meninggalkan shalat Jum’at, atau
meninggalkan puasa Ramadhan (Taisir Al-Karim Ar-Rahman,
hal. 176)
Baca juga : 5 Amalan Penghapus Dosa Di Bulan Ramadhan
Memasukkan ke Dalam Surga
Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu menceritakan
bahwa suatu ketika ada seorang lelaki badui datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambutnya acak-acakan. Dia
mengatakan,
“Wahai Rasulullah. Beritahukan kepadaku
tentang shalat yang Allah wajibkan untuk kukerjakan?”
Beliau menjawab,
“Shalat
lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambahnya dengan shalat sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan
kepadaku puasa yang Allah wajibkan untukku?”
Beliau menjawab,
“Puasa
di bulan Ramadhan, kecuali kalau kamu mau menambah dengan puasa sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan
kepadaku zakat yang Allah wajibkan untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memberitahukan kepadanya syari’at-syari’at Islam. Orang itu lalu mengatakan, “Demi
Dzat yang telah memuliakan anda dengan kebenaran. Aku tidak akan menambah sama
sekali, dan aku juga tidak akan menguranginya barang sedikitpun dari kewajiban
yang Allah bebankan kepadaku.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda,
“Dia
beruntung jika dia memang jujur.”
Atau beliau mengatakan,
“Dia
akan masuk surga jika dia benar-benar jujur/konsekuen dengan ucapannya itu.” (HR.
Bukhari [46, 1891, 2678, dan 9656] dan Muslim [11]).
Membentengi Pelakunya Dari Perbuatan Buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ
قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ
رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Puasa adalah perisai, maka janganlah dia
berkata kotor dan bertindak dungu. Kalau pun ada orang yang mencela atau
mencaci maki dirinya hendaknya dia katakan kepadanya, “Aku sedang puasa.” Dua
kali. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang
berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi. (Allah
berfirman) ‘Dia rela meninggalkan makanannya, minumannya, dan keinginan
nafsunya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan
membalasnya.’ Setiap kebaikan itu pasti dilipatgandakan sepuluh kalinya.” (HR.
Bukhari [1894] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan kata-kata kotor (rofats) di dalam hadits ini
adalah ucapan yang keji. Kata rofats juga terkadang
dimaksudkan untuk menyebut jima’ beserta pengantar-pengantarnya. Atau bisa juga
maknanya lebih luas daripada itu semua (Fath Al-Bari, 4/123)
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ini bukan berarti di selain waktu puasa
orang boleh mengucapkan kata-kata kotor. Hanya saja ketika sedang berpuasa maka
larangan terhadap hal itu semakin keras dan semakin tegas (Fath
Al-Bari, 4/124)
Kata rofats dengan makna jima’ bisa dilihat
dalam ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan untuk kalian pada malam (bulan)
puasa melakukan rafats (jima’) kepada isteri-isteri kalian.” (Qs.
Al-Baqarah [2] : 187)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata rofats di dalam ayat
ini maksudnya adalah jima’. Inilah tafsiran Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Sa’id
bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdullah, Amr bin Dinar, Al-Hasan, Qatadah,
Az-Zuhri, Adh-Dhahhaak, Ibrahim An-Nakha’i, As-Suddi, Atha’ Al-Khurasani, dan
Muqatil bin Hayan (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
1/286)
Dan yang dimaksud dengan bau mulut -orang yang puasa- tersebut adalah
bau mulut yang timbul akibat berpuasa, bukan karena sebab yang lain (Fath
Al-Bari, 4/125).
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘keinginan nafsunya’ di dalam hadits ini
adalah hasrat untuk berjima’, sebab penyebutannya digandengkan dengan makan dan
minum (Fath
Al-Bari, 4/126)
Sebuah Pintu Khusus di Surga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ
الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ
أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا
دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat
sebuah pintu yang disebut Ar-Royyan. Orang-orang yang rajin berpuasa akan masuk
Surga melewatinya pada hari kiamat nanti. Tidak ada orang yang memasukinya
selain mereka. Diserukan kepada mereka, ‘Manakah orang-orang yang rajin
berpuasa?’ Maka merekapun bangkit. Tidak ada yang masuk melewati pintu itu
selain golongan mereka. Dan kalau mereka semua sudah masuk maka pintu itu
dikunci sehingga tidak ada lagi seorangpun yang bisa melaluinya…” (HR.
Bukhari [1896] dari Sahl radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dalam hadits dengan orang yang rajin puasa bukanlah orang
yang hanya mengerjakan puasa dan tidak mengerjakan shalat, sebab orang seperti
ini tidak akan masuk surga akibat kekafirannya (meninggalkan shalat, pen). Akan
tetapi yang dimaksud adalah kaum muslimin yang banyak-banyak berpuasa maka
dia akan dipanggil agar melalui pintu tersebut. Sehingga setiap penghuni surga
akan memasuki surga melalui pintu-pintunya yang berjumlah delapan (lihat Syarh
Riyadhush Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 3/388-389)
Masing-masing pintu di surga memiliki kekhususan. Hal itu sebagaimana
dikabarkan oleh Nabi dalam haditsnya,
مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ
دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ
بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ
الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ
يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ
تَكُونَ مِنْهُم
“Barangsiapa yang berinfak dengan sepasang hartanya di jalan Allah maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Hai hamba Allah, inilah kebaikan.’ Maka orang yang termasuk golongan ahli shalat maka ia akan dipanggil dari pintu shalat. Orang yang termasuk golongan ahli jihad akan dipanggil dari pintu jihad. Orang yang termasuk golongan ahli puasa akan dipanggil dari pintu Ar-Royyan. Dan orang yang termasuk golongan ahli sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”
Ketika mendengar hadits ini Abu Bakar pun
bertanya, “Ayah dan ibuku sebagai penebus anda wahai Rasulullah. Apa lagi yang
akan dicari oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu, mungkinkah ada
orang yang dipanggil dari semua pintu tersebut?” Maka beliau pun menjawab, “Iya
ada. Dan aku berharap kamu termasuk golongan mereka.” (HR.
Bukhari [1897 dan 3666] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Al-Qadhi menukil ucapan Al-Harawi ketika menerangkan makna ‘sepasang
hartanya’: Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang harta’
adalah dua ekor kuda, dua orang budak, atau dua ekor onta (Al-Minhaj oleh
An-Nawawi, 4/351). Sedangkan yang dimaksud dengan berinfak di jalan Allah dalam
hadits ini mencakup berinfak untuk segala bentuk amal kebaikan, bukan khusus
untuk jihad saja (Al-Minhaj, 4/352).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap orang yang beramal akan
dipanggil dari pintunya masing-masing. Hal ini didukung dengan hadits dari
jalur lain juga dari Abu Hurairah yang mengungkapkannya secara tegas, Nabi
bersabda,
لِكُلِّ عَامِل بَاب مِنْ أَبْوَاب الْجَنَّة يُدْعَى مِنْهُ بِذَلِكَ
الْعَمَل
“Bagi setiap orang yang beramal terdapat
sebuah pintu khusus di surga yang dia akan dipanggil melalui pintu tersebut
karena amal yang telah dilakukannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad sahih, demikian kata Al-Hafizh dalam Fath Al-Bari, 7/30)
Hadits ini juga menunjukkan betapa mulia kedudukan Abu Bakar radhiyallahu’anhu.
Sebab Nabi mengatakan di akhir hadits ini, “Dan aku berharap kamu termasuk
golongan mereka -yaitu orang yang dipanggil dari semua pintu surga-.” Para
ulama mengatakan bahwa harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi. Dengan
pernyataan ini maka hadits di atas termasuk kategori hadits yang menunjukkan
keutamaan Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Hadits
ini juga menunjukkan bahwa betapa sedikit orang yang bisa mengumpulkan berbagai
amal kebaikan di dalam dirinya (Fath Al-Bari, 7/31).
Abu Bakar adalah orang yang memiliki berbagai bentuk amal shalih dan
ketaatan. Hal itu terbukti sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ
مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ تَبِعَ
مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ
مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ
مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ
الْجَنَّةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya (kepada para sahabat), “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini
berpuasa?”. Abu Bakar berkata, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di
antara kalian yang hari ini sudah mengiringi jenazah?” Maka Abu Bakar berkata,
“Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini
memberi makan orang miskin?”. Maka Abu Bakar mengatakan, “Saya.” Lalu beliau
bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang
sakit.” Abu Bakar kembali mengatakan, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun bersabda, “Tidaklah ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang
melainkan dia pasti akan masuk surga.” (HR. Muslim [1027
dan 1028] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Abu Bakar Al-Muzani berkomentar tentang sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, “Tidaklah
Abu Bakar itu melampaui para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(semata-mata) karena (banyaknya) mengerjakan puasa atau sholat, akan tetapi
karena sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Mengomentari
ucapan Al-Muzani tersebut, Ibnu ‘Aliyah mengatakan, “Sesuatu yang bersemayam di dalam
hatinya adalah rasa cinta kepada Allah ‘azza wa jalla dan sikap nasihat
terhadap (sesama) makhluk-Nya.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam oleh
Ibnu Rajab, hal. 102)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh
terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, akan baiklah seluruh anggota tubuh.
Dan apabila ia rusak, rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, bahwa
segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599]
dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma)
Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat isyarat
yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik anggota badan manusia, kemauan
dirinya untuk menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, kesanggupannya
meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat (ketidakjelasan) adalah sangat
tergantung pada gerak-gerik hatinya. Apabila hatinya bersih, yaitu tatkala di
dalamnya tidak ada selain kecintaan kepada Allah dan kecintaan terhadap apa-apa
yang dicintai Allah, rasa takut kepada Allah dan khawatir terjerumus dalam hal-hal
yang dibenci-Nya, maka niscaya akan menjadi baik pula gerak-gerik seluruh
anggota badannya. Dari sanalah tumbuh sikap menjauhi segala macam keharaman dan
sikap menjaga diri dari perkara-perkara syubhat untuk menghindarkan diri dari
hal-hal yang diharamkan…” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
hal. 93)
An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan penegasan agar
bersungguh-sungguh dalam upaya memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan.”
(Al-Minhaj,
6/108)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa salah satu pelajaran penting yang
bisa dipetik dari hadits di atas adalah, “Poros baik dan rusaknya (amalan)
adalah bersumber dari hati. Apabila hatinya baik maka seluruh tubuh juga akan
baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh anggota tubuh akan ikut rusak. Dari
faidah ini muncul perkara yang lain yaitu : sudah semestinya memperhatikan
masalah hati lebih daripada perhatian terhadap masalah amal anggota badan.
Sebab hati adalah poros amalan. Dan hati itulah yang nanti pada hari kiamat
akan menjadi objek utama ujian yang ditujukan kepada manusia. Hal itu
sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah mereka tidak mengetahui ketika
mayat yang ada di dalam kubur dibangkitkan dan dikeluarkan apa-apa yang
tersembunyi di dalam dada.” (Qs. Al-‘Adiyat: 9-10). Allah
ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha Kuasa untuk
mengembalikannya. Pada hari itu akan diuji perkara-perkara yang tersembunyi (di
dalam hati).” (Qs. Ath-Thariq: 8-9). Maka sucikanlah hatimu
dari kesyirikan, kebid’ahan, dengki dan perasaan benci kepada kaum muslimin,
serta (bersihkanlah hatimu) dari akhlak-akhlak dan keyakinan lainnya yang
bertentangan dengan syari’at, karena yang menjadi pokok segala urusan adalah
hati.” (Syarh
Arba’in, hal. 113)
Baca juga : Marhaban Ya Ramadhan, Jadikan Ramadhan Sebagai Momentum Perbaikan Diri
Beliau juga mengatakan, “Apabila Allah di dalam kitab-Nya, serta
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
Sunnahnya juga telah menegaskan agar memperbaiki niat, maka wajib bagi setiap
manusia untuk memperbaiki niatnya dan memperhatikan adanya keragu-raguan yang
tertanam di dalam hatinya untuk kemudian dilenyapkan olehnya menuju keyakinan.
Lantas bagaimanakah caranya?”
Beliau melanjutkan, “Hal itu dapat ditempuh dengan cara memperhatikan
ayat-ayat. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam
sungguh-sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang
menggunakan akal pikiran.” (Qs. Ali ‘Imran: 190). Allah juga
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya di langit dan di bumi
benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman,
begitu juga dalam penciptaan diri kalian dan hewan-hewan melata yang bertebaran
adalah tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Qs.
Al-Jatsiyah: 4). Maka silakan anda perhatikan ayat-ayat Allah yang lain.”
“Kemudian apabila syaitan membisikkan di dalam hati anda keragu-raguan,
perhatikanlah ayat-ayat Allah, perhatikan alam semesta ini siapakah yang telah
mengaturnya, perhatikanlah bagaimana keadaan bisa berubah-ubah, bagaimana Allah
mempergilirkan perjalanan hari di antara umat manusia sampai anda benar-benar
yakin bahwa alam ini memiliki pengatur yang maha bijaksana (yaitu Allah) ‘azza
wa jalla…” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 1/41)
***
Sumber : Muslim.or.id