Jika Ingin Mendapatkan Keturunan yang Shalih
Setiap orang tentu
menginginkan anak yang shalih. Kehadirannya menjadi pelengkap kebahagiaan,
pelipur lara, juga sebagai perhiasan di dunia. Anak yang shalih adalah salah
satu bentuk nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Ia merupakan amalan
shalih bagi kedua orang tuanya semasa hidup dan setelah mereka meninggal,
sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إذا مات الإنسانُ انقطع عنه عملُه إلا من ثلاثةٍ : إلا من
صدقةٍ جاريةٍ . أو علمٍ ينتفعُ به . أو ولدٍ صالحٍ يدعو له
“Jika seorang hamba telah meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya” (Hadits riwayat Muslim no.1631)
Mendidik generasi agar menjadi generasi yang baik itu
tidaklah mudah. Ilmunya tak bisa didapat secara instan. Mempelajarinya pun tak
ada batas waktu. Di antara keutamaan dan kesempurnaan syariat Islam ialah
memuat segala sesuatu. Termasuk di antaranya adalah bagaimana perhatian Islam
terhadap anak sebelum kedua orang tuanya melangsungkan pernikahan.
Jika yang menjadi maksud utama dalam membina sebuah rumah
tangga adalah untuk mendapatkan keturunan yang shalih, maka target ini tidaklah
mungkin terwujud hanya dengan pertemuan seorang lelaki dan wanita. Tetapi harus
diperhatikan kaidah-kaidah dan prinsip yang di atasnya didirikan sebuah rumah
tangga. Kaidah tersebut adalah perkara-perkara yang telah disyariatkan secara
rinci oleh Islam, dimulai dengan memilih pendamping hidup yang memiliki
kriteria tertentu agar target tersebut dapat diraih.
Oleh karena itu, seorang pemuda wajib memilih wanita yang kuat agamanya serta
berakhlak mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ،
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (Hadits riwayat Muslim dari Abdullah ibnu Umar)
Beliau juga bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ
الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا
أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Tidak diragukan lagi bahwa istri adalah pemimpin rumah,
karena ia yang bertugas menjaga rumah suaminya dan ia juga yang bertanggung
jawab dalam pelaksanaan tugas tersebut. Apabila istri seorang wanita shalihah
tentu ia akan membangun rumah tangga yang kokoh dan melaksanakan dengan
perkara-perkara yang dapat membawa kebahagiaan bagi seisi rumah. Mendidik
anak-anaknya dengan baik hingga mereka menjadi orang-orang yang berakhlak
mulia, membiasakan mereka untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhkan
mereka dari kebiasaan jelek dan akhlak yang buruk.
Wanita erat hubungannya dengan baik atau buruknya sebuah
generasi. Karena dari rahimnya lah keluar para penerus. Dan di bawah naungannya
lah para penerus tadi mendapat pendidikan yang pertama. Muhammad Quthb berkata,
“Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik selama ia pernah mendapatkan
pengasuhan ibu yang baik. Sebaliknya, ibu yang rusak akhlaknya hanya akan
melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya.”
Abul Aswad Ad-Duaili berkata kepada anak-anaknya, “Sungguh
aku telah berbuat baik kepada kalian sejak kalian masih kecil hingga kalian
dewasa bahkan semenjak kalian belum dilahirkan.”
Anak-anaknya bertanya, “Bagaimana cara ayah berbuat baik
kepada kami sebelum kami terlahir?”
Beliau menjawab, “Aku telah pilihkan untuk kalian ibu yang
mana kalian tidak akan pernah kecewa kepadanya.”
Demikian juga dengan janin. Di samping ia memerlukan
seorang ibu shalihah, memiliki agama yang kokoh sehingga mampu menjaga dan
memeliharanya ketika masih berada di dalam kandungan serta dapat mewarisi
sifat-sifatnya yang mulia. Janin juga memerlukan sosok seorang ayah yang shalih
yang menjaga dirinya dan ibunya. Di sinilah letak tanggung jawab keluarga atau
seorang wali agar tidak menikahkan anak gadisnya dengan sembarang orang. Tetapi
hendaknya mereka benar-benar memperhatikan akidah dan akhlak pemuda yang datang
meminang anaknya. Tiada fitnah dan kerusakan yang paling besar terhadap agama
dan akhlak seseorang selain tindakan keluarga yang membiarkan menyerahkan anak
gadisnya yang shalihah jatuh ketangan seorang pria yang menyimpang dari syariat
Islam, tidak memiliki kehormatan dan perasaan cemburu kepada si istri. Ia
memaksa istrinya untuk mengumbar aurat, bercambur baur dengan laki-laki dan
menyeretnya keluar dari jalur agama dan akhlak. Ditambah lagi dengan pengaruh
buruknya yang ia tularkan kepada anak-anak.
Manakala pemilihan suami maupun istri dijalankan di atas
asas kemuliaan dan keshalihan, tidak diragukan lagi bahwa anak-anak yang
dilahirkan akan tumbuh di atas kebaikan, kehormatan, kesucian, dan konsekuen
dalam memegang ajaran agama. Apabila dalam diri seorang anak berkumpul faktor
genetika yang shalih, serta faktor pendidikan yang baik maka dengan izin Allah
akan menghasilkan seorang anak yang memiliki agama dan akhlak terbaik.
Ketakwaannya, keistimewaannya, pergaulannya, dan akhlaknya yang mulia akan
menjadi contoh bagi orang lain.
Jadi, tidak ada cara lain bagi yang ingin menapaki jenjang
pernikahan kecuali harus pandai-pandai memilih pasangan hidup yang shalih. Dari
ikatan suci ini dibangun keluarga bahagia, yang dipimpin oleh seorang suami
yang shalih dan dimotori oleh seorang istri yang shalihah, jika mereka ingin
mendapatkan keturunan yang shalih dan suci serta anak-anak yang beriman.
Sumber
: muslimah.or.id