Anak Tiri dalam Hukum Islam
Memiliki seorang anak adalah impian dari setiap pasangan yang baru menikah. Dalam Islam, anak adalah titipan yang harus dijaga. Seorang anak merupakan nikmat juga sekaligus amanah. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada semua orang tua apabila anak – anak kita terjaga dari neraka maka berarti itu nikmat. Namun, apabila anak ini masuk neraka dan memasukkan kedua orang tuanya ke dalam neraka berarti anak itu fitnah.
Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, baik itu anak seorang Nabi, anak seorang ulama, anak seorang
pengusaha, maupun anak seorang penjahat. Namun, anak – anak ini bisa menjadi
rusak karena faktor dari luar, seperti setan, kemudian ada juga faktor dari
lingkungan.
Bahkan, faktor lingkungan inilah
yang menjadi faktor utama perusak anak – anak yang kita kasihi dan sayangi.
Karena itu, peran dari lingkungan keluarga ini sangat penting untuk tumbuh
kembang anak.
Karena dari lingkungan keluarga
inilah, anak bisa menjadi seorang muslim yang taat beragama atau menjadi anak
yang tersesat dan menjadi mangsa setan. Dan hal – hal seperti ini
tergantung oleh orang tua yang mendidik anaknya. Kalau melihat realita saat
ini, ada berapa banyak orang tua yang dibuat sedih dan sengsara oleh anak.
Dengan berbagai macam sikap dan
ulah yang beragam dari anak – anak ini membuat orang tua memiliki kewajiban
utama untuk mendidik anak. Karena, anak ini akan menjadi simpanan orang tua di
akhirat nanti. Karena itu Rasulullah Muhammad Shallalahu Alaihi Wassalam
bersabda :
“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya.”
Memiliki anak yang sholeh memang
tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Karena peran anak yang soleh
ini begitu dahsyat di hari akhir. Anak yang sholeh ini bisa mengangkat derajat
orang tuanya di surga. Dan ternyata hal itu terjadi karena istighfar anaknya kepada
orang tuanya. Dan juga sebaliknya, anak juga bisa menghadirkan kemurkaan Allah
Subhanahu wa ta’ala.
Maka dari itu, orang tua perlu
menjadikan anak ini sebagai simpanan yang berharga supaya bisa menjadi
kebanggaan di dunia maupun di akhirat saat kita menghadap Allah Subhanahu wa
ta’ala.
Kedudukan Anak Tiri dalam Islam
Seorang anak, baik anak kandung
atau anak tiri terkadang memiliki perbedaan dalam pengasuhannya. Namun,
alangkah baiknya pengasuhan anak-anak ini tetap sama seperti mulai mendidik anak dalam islam sejak
dini. Karena, pada dasarnya anak tiri pun juga membutuhkan kasih sayang dan
arahan dari orang tua.
Seorang anak tiri tentu akan
membutuhkan adaptasi bersama orang tua barunya. Bahkan ditambah kondisi
orang tua sebelumnya sempat bercerai, maka anak berhak mendapatkan hak asuh
dari orang tuanya karena dengan usia yang masih belia kadang anak belum
memahami apa yang terjadi pada orang tuanya.
Anak yang berusia dibawah
sepuluh tahun, maka pengasuhan anak ini diprioritaskan pada ibunya. Kecuali,
ibunya memiliki masalah dalam hal kejiwaan atau jauh dari agama. Maka, anak
tersebut bisa diambil alih hak asuhnya oleh wali lainnya (ayah).
Namun, apabila terjadi
perceraian antara kedua orang tua dan orang tua tersebut tidak memahami agama
maka wali yang lain bisa mengambil hak asuhnya yakni kakeknya ataupun neneknya.
Apabila anak ini sudah berusia lebih dari 10 tahun, maka anak bisa diberikan
pilihan untuk memilih mau ikut ibu atau mau ikut ayah. Kalau untuk anak laki –
laki yang berusia 6 tahun maka anak laki – laki tersebut boleh memilih siapa
walinya. Untuk anak perempuan yang berusia 10 tahun baru bisa memilih.
Ada pendapat lainnya juga yang
mengatakan anak – anak bisa tetap bisa bersama Ibunya selama ibunya tidak
menikah lagi. Hal ini berpegang pada hadits Abu Daud. Jadi, selama ibu tidak
menikah lagi, maka ibu mempunyai hak untuk mengasuh. Maksud mengasuh di sini
benar – benar mengasuh dan tinggal satu rumah bersama anak. Walaupun hak asuh
ada pada ibu, pihak ayah masih boleh bertemu.
Namun, apabila sang Ibu berencana
untuk menikah lagi maka alangkah baiknya anak tersebut diserahkan pada mantan
suaminya yang merupakan ayah dari anak – anak tersebut. Karena dikhawatirkan,
laki – laki yang baru menjalin rumah tangga akan lebih cenderung pada anaknya
sendiri. Dan hal itu memiliki potensi kejiwaan sang anak apabila anak – anak
ini ikut diasuh oleh ayah tirinya.
Rasulullah bersabada dalam
hadits :
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, mungkinkah aku mendapatkan pahala atas nafkah yang kuberikan untuk mengasuh anak-anak Abu Salamah (anak tiri bagi Ummu Salamah) sehingga mereka tidak tersia-sia, dimana mereka kuanggap seperti anak-anakku sendiri?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, kamu dapat pahala atas nafkah yang kamu keluarkan untuk biaya mengasuh mereka.”
Kewajiban pemberian nafkah bagi
anak yang orang tuanya telah menikah lagi tentu masih dipegang oleh ayah
kandungnya, bukan ayah tirinya. Karena nasab anak tersebut pada ayahnya. Namun,
apabila ayah kandungnya tidak mampu memberikan nafkah pada anaknya maka paman –
pamannya yang merupakan kerabat – kerabatnya lah yang memiliki kewajiban
tersebut, bukan ibunya.
Haram Menikahi Anak Tiri
Anak yang merupakan titipan dari
Allah Subhanahu wa ta’ala juga tidak boleh sembarangan dinikahi oleh ayah
tirinya. Dalam Surat An-Nisa ayat 23 Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya : “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Semoga bermanfaat.
*Sumber : dalamislam.com